Tarik Ulur RUU Perampasan Aset Tindak Pidana
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset terkait dengan Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset) merupakan RUU inisiatif Pemerintah yang masuk dalam daftar Prolegnas 2020-2024. RUU ini mulai menjadi perbincangan ketika public dikagetkan dengan adanya dugaan transaksi janggal di Direktorat Jenderal Pajak sebesar Rp349 triliun. Kendati demikian, sejak presiden mengirimkan Surat Presiden kepada DPR pada tanggal 4 Mei 2023, RUU ini tak kunjung dilakukan pembahasan.
Berdasarkan draf RUU yang diperoleh dari laman PPATK[1], setidaknya RUU Perampasan Aset akan mengatur mengenai pengelolaan aset yang terdiri atas penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan dan pengembalian aset tindak pidana. Lebih lanjut, aset tindak pidana yang dapat dirampas antara lain:[2]
a. Aset hasil tindak pidana atau Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau Korporasi, baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut;
b. Aset yang diketahui atau patut diduga digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana;
c. Aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti Aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara; atau
d. Aset yang merupakan barang temuan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana; dan
e. Aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan Aset Tindak Pidana yang diperoleh; dan
f. Aset yang merupakan benda sitaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
Perampasan aset di atas dibatasi dengan syarat yakni aset yang bernilai paling sedikit Rp100 juta dan aset yang terkait dengan tindak pidana yang diancam denganp idana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Terkait inisiasi RUU Perampasan aset, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) Prof Harkristuti Harkrisnowo mengungkapkan enam urgensi pengesahan RUU ini antara lain Pertama, merampas hasil aktivitas ilegal dari para pelaku kejahatan dan mencegah mereka menggunakan hasil kejahatannya. Kedua, mematahkan tulang punggung finansial sindikat dan kartel kejahatan. Ketiga, merampas hasil aktivitas ilegal para pelaku. Keempat, mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa depan. Kelima, mengembalikan aset kembali kepada pemiliknya yang sah. Keenam, memulihkan aset negara.[3]
Adapun komisi yang bertanggungjawab untuk melakukan pembahasan RUU a quo adalah Komisi III DPR. Menanggapi desakan untuk segera disahkannya UU Perampasan Aset Puan Maharani, Ketua DPR RI mengungkapkan bahwa DPR sedang memfokuskan untuk bisa menyelesaikan RUU yang ada di komisi masing-masing, maksimal dua RUU diselesaikan dalam satu tahun. Komisi III saat ini tengah fokus untuk menyelesaikan RUU Narkotika dan RUU Hukum Acara Perdata.
[1]https://jdih.ppatk.go.id/storage/dokumen_produk_hukum/Draft%20Final%20RUU%20Perampasan%20Aset%20.pdf
[2] Pasal 5 RUU Perampasan Aset
[3] Hukumonline.com, “6 Urgensi Keberadaan UU Perampasan Aset”, https://www.hukumonline.com/berita/a/6-urgensi-keberadaan-uu-perampasan-aset-lt6492e35030130/?page=1