Skema Power Wheeling dalam RUU EBT, Privatisasi?

Skema Power Wheeling dalam RUU EBT, Privatisasi?
Photo by Chelsea / Unsplash

Pembahasan RUU Energi Baru dan Terbarukan akan kembali dilangsungkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam dengan Komisi VII DPR yang membidangi Energi dan Perindustrian. Pembicaraan mengenai RUU Energi mengerucut pada skema power wheeling yang dinilai akan mempercepat pengembangan energi terbarukan. Kendati demikian, yang menjadi menarik adalah kedua belah pihak yakni pemerintah dan DPR sempat bersepakat untuk tidak memasukkan skema power wheeling dalam Daftar Inventarisasi Masalah RUU EBT pada awal tahun 2023.

Power wheeling merupakan mekanisme yang memperbolehkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN. Apabila dilihat dari perspektif konstitusi, tidak terdapat larangan penyediaan tenaga listrik oleh pihak swasta. Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Lebih lanjut, bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk Sebesar - besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, selama masih dalam control dan penguasaan oleh negara, maka hadirnya pihak swasta dalam penyediaan energi listrik diperbolehkan.

Kondisi tersebut juga dipertegas oleh Putusan MK No. MK No. 111/PUU-XIII/2015 yang telah memutus konstitusionalitas Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan terkait penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Dalam Putusan MK a quo, terhadap Pasal 10 ayat (2) dinyatakan bahwa:

Pasal 10 ayat (2) bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila rumusan dalam Pasal 10 ayat (2)   tersebut diartikan menjadi dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip “dikuasai oleh negara”;

Putusan MK tersebut menegaskan kembali bahwa Pasal 10 ayat (2) tersebut tidak boleh diartikan bahwa peran negara akan berkurang atau hilang. Koordinasi penyediaan dan penyaluran listrik tetap berada di pemerintah melalui BUMN yang khusus beroperasi dalam bidang listrik. Dengan demikian, Pasal 10 ayat (2) tersebut tidak boleh menjadi dasar pengelolaan ketenagalistrikan atau membuat peraturan pelaksanaan yang membuat usaha pembangkitan tenaga listrik, transmisi listrik, distribusi listrik, dan penjualan listrik dilakukan oleh perusahaan yang terpisah-pisah.

Sementara terhadap Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa:

“Pasal 11 ayat (1) bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila rumusan dalam Pasal 11 ayat (1) tersebut dimaknai hilangnya prinsip “dikuasai oleh negara”;

Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat, hal ini mempunyai makna bahwa Pasal 11 ayat (1) tersebut tetap sah sepanjang tidak meniadakan penguasaan oleh negara. Terkait dengan keberadaan pihak swasta dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan, MK berpendapat bahwa penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup banyak tidak berarti UUD 1945 menolak privatisasi, sepanjang privatisasi tersebut tidak meniadakan penguasaan oleh negara.

Dengan demikian, skema power wheeling dianggap sah dan tidak bertentangan dengan hukum maupun konstitusi sepanjang prinsip-prinsip yang tertuang dalam Putusan MK mengenai “penguasaan oleh negara” tetap dijalankan.